MENIKAH YES, PUNYA ANAK NO

 




Semakin banyak pasangan yang tidak mau punya anak sekarang ini. Alasannya macam-macam, yang paling umum adalah bahwa punya anak itu mahal.


Menjadi orang tua di zaman sekarang itu memang tidak murah. Ada banyak keperluan anak yang harus dipenuhi. Kita tidak bisa lagi bersikap seperti orang tua zaman lalu yang cuma bermodalkan ‘tawakal’ dan berani punya anak 10. Orang tua saya sendiri anaknya 11 dan modalnya juga tawakal (dan harus jibaku jungkir balik menghidupi 11 anak). Untungnya kok ya jadi semua dan tidak ada yang hidupnya terlunta-lunta. Tapi tidak semua keluarga besar seperti keluarga kami bisa selamat. Banyak keluarga besar yang akhirnya anak-anaknya berantakan. So sad... 🥺


Sekarang hampir tidak ada lagi pasangan yang berani hanya bermodalkan ‘tawakal’ dan produksi anak sampai 10 atau 11 orang. Kalau sekarang masih ada yang punya anak 10 mungkin akan menjadi viral dan jadi bahan pergunjingan nasional. Sekarang orang paling banter pingin punya anak kurang dari 5 orang. Lebih dari itu sudah termasuk langka. Trendnya justru mulai banyak pasangan yang tidak ingin punya anak.


Punya anak itu memang mahal biayanya. Tapi uang bukanlah alasan nomor satu yang diberikan oleh pasangan untuk ingin bebas anak. Dalam banyak kasus, generasi muda sekarang mempunyai lebih banyak pilihan hidup. Sekarang mereka menyadari bahwa mereka dapat mengejar kebahagiaan dengan cara lain. Selain itu, semakin tinggi pendidikan suatu populasi, semakin besar kecenderungan laki-laki dan perempuan untuk menunda menjadi orang tua dan juga kecenderungan memiliki lebih sedikit anak..


Sebagai contoh di Amerika Serikat. Membesarkan anak di AS sangatlah mahal, dan banyak keluarga tidak dapat mengandalkan banyak bantuan dari pemerintah. “Sistem kesejahteraan di Amerika cukup baik untuk orang lanjut usia, namun relatif pelit untuk anak-anak. Dibandingkan Amerika Serikat dengan hampir 40 negara lain di OECD, hanya Turki yang membelanjakan lebih sedikit persentase PDB per anak dari PDB mereka,” podcast NPR, Planet Money, baru-baru ini melaporkan.


Menjadi orang tua di AS menjadi semakin mahal dalam beberapa dekade terakhir. Biaya penitipan anak dan prasekolah melonjak sekitar 263% antara tahun 1991 dan 2024, menurut analisis KPMG terhadap data Biro Statistik Tenaga Kerja. Perkiraan total biaya untuk membesarkan seorang anak pada tahun 2023 sejak lahir hingga usia 18 tahun adalah lebih dari $330.000, menurut analisis Northwestern Mutual.


Tapi uang juga bukanlah alasan nomor satu mengapa orang Amerika tidak punya anak. Dari mereka yang berusia di bawah 50 tahun yang mengatakan bahwa mereka tidak mungkin memiliki anak, 57% mengatakan mereka tidak ingin memiliki anak adalah keinginan untuk fokus pada hal lain (44%) dan kekhawatiran terhadap keadaan dunia atau masa depan. (38%). Dan semakin banyak orang dewasa di bawah usia 50 tahun yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah berniat memiliki anak, demikian temuan studi Pew secara terpisah. Kelompok tersebut tumbuh dari 37% orang dewasa pada tahun 2018 menjadi 47% orang dewasa pada tahun 2023.


Jika biaya bukanlah faktor penentu, mengapa generasi muda Amerika tidak begitu menginginkan anak seperti orang tua mereka sendiri? Bagi banyak orang, hal ini terjadi karena tuntutan dan persyaratan menjadi orang tua itu sendiri telah berubah.


Menjadi orang tua tampak menakutkan: Kami ‘memilih untuk tidak selalu mengawasi anak-anak 24/7’. Callie Freitag, 33, tinggal di Madison, Wisconsin, tempat dia bekerja sebagai peneliti kebijakan publik, ahli demografi dan asisten profesor di Universitas Wisconsin. Dia dan pasangannya “sampai pada keputusan untuk tidak memiliki anak karena tidak satupun dari kami merasa tertarik untuk bertanggung jawab merawat dan memberi makan anak-anak kecil,” katanya kepada CNBC Make It. “Kami lebih suka menghabiskan waktu, energi, dan sumber daya kami dengan cara lain. Kami senang menjadi bibi dan paman, tapi memilih untuk tidak selalu mengawasi anak-anak 24/7,” katanya. Intinya mereka tidak mau terikat dengan tanggung jawab besar membesarkan anak. Nggak ada lagi yang berani punya anak dengan modal tawakal. Kecuali... 😎


Visi yang dikejar oleh generasi muda kini adalah membangun kariernya, bepergian, dan terlibat dengan komunitasnya. Dan memiliki anak menambah kerumitan saja. Mereka lebih suka menghabiskan waktu, energi, dan sumber daya mereka dengan cara lain.


Penurunan angka kelahiran bukan hanya terjadi di AS. Negara-negara di seluruh dunia juga mengalami penurunan angka kelahiran mulai atau terus menurun, seperti yang terjadi di Korea Selatan, yang memiliki tingkat kesuburan terendah di dunia.


Banyak pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mencoba mendorong warganya untuk menambah jumlah keluarga mereka. Korea Selatan meningkatkan tunjangan bulanan bagi keluarga yang memiliki bayi baru lahir hingga tahun pertama mereka. Taiwan telah memperkenalkan tunjangan tunai dan keringanan pajak bagi orang tua serta memperluas kompensasi cuti keluarga yang dibayar.


Hanya sedikit dari solusi kebijakan ini yang membawa perubahan signifikan. Bahkan negara-negara seperti Norwegia, yang dikenal memiliki kebijakan dukungan keluarga yang kuat, sudah mulai mengalami penurunan angka kelahiran.


Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah kita perlu mendorong keluarga untuk memilih lebih banyak anak? 😎


Dalam data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, angka pernikahan di Indonesia terus menurun dalam enam tahun terakhir. Penurunan paling drastis terjadi dalam tiga tahun terakhir. Sejak 2021 hingga 2023, angka pernikahan di Indonesia menyusut sebanyak dua juta. Berdasarkan data Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) dari Kementerian Agama (Kemenag), tercatat 1,5 juta pasangan muslim menikah pada 2023. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan 2022 yang mencapai 1,71 juta pasangan. "Yang menikah tidak 1,5 juta, tetapi bisa jadi 1,7 juta kalau dihitung dengan yang nonmuslim, jadi kalau diperkirakan, sejak tahun 2020 angka pernikahan itu sekitar 1,7 juta sekian, baik muslim dan nonmuslim, tetapi di tahun 2023 ini memang turun," katanya. Sementara hal terbalik terjadi di angka perceraian dalam 3 tahun terakhir. Angka perceraian justru meningkat drastis. Pada tahun 2021 ada lebih dari 447.000 kasus perceraian. Meningkat di 2022 melampaui 500.000, sedikit menurun di 2023 tetapi lebih tinggi dibandingkan 2021 yaitu 463.000 kasus.


Tekanan orang-orang sekitar juga menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat tidak ingin melangsungkan pernikahan. Kalau menikah di Indonesia pasti ada tekanan untuk mempunyai anak, karena kalau di Indonesia sudah menikah itu, saat Idulfitri misalnya, pasti ditanya sudah punya anak atau belum. Kalau sudah punya anak masih ditanya kapan bikin anak lagi, dst. Pokoknya usil banget deh… 😁


Tren Child Free


Dugaan alasan lain yang menyebabkan penurunan jumlah angka pernikahan di Indonesia juga karena munculnya tren child free atau hidup tanpa anak pada generasi muda atau Gen Z. Selain itu ada pula perubahan pola pikir modern di masyarakat. Demikian menurut Psikolog Universitas Indonesia, Rose Mini Agoes Salim.


Berbeda dengan beberapa puluh tahun lalu, generasi muda kala itu menganggap pernikahan adalah tujuan utama kehidupan. Saat ini, sebagian anak muda menganggap kebiasaan lama tersebut sudah tidak selalu relevan. Rose juga mengatakan dampak dari perubahan pola pikir modern pada masyarakat dipengaruhi tingkat status ekonomi yang masih rendah. Faktor itu juga turut berkontribusi menurunkan jumlah angka pernikahan di Indonesia. Dari berbagai pertimbangan, sebagian anak muda lebih memilih mengejar karier atau ekonomi terlebih dahulu. Setelah mapan, barulah memikirkan pernikahan dan kehidupan setelahnya. Jadi sebetulnya sama saja dengan di negara-negara maju lainnya di mana masalah ekonomi menjadi penyebab turunnya keinginan untuk punya anak.


Pergeseran demografis ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi para ekonom, serta politisi dan tokoh masyarakat tertentu yang menganggap penurunan ini sebagai indikasi kerusakan moral. Tidak menginginkan anak adalah “suatu bentuk keegoisan,” kata Paus Fransiskus pada tahun 2022. Dalam audiensi umum di Vatikan, beliau berkata: “Saat ini… kita melihat suatu bentuk keegoisan. Kita melihat ada sebagian orang yang tidak ingin mempunyai anak. Terkadang mereka punya satu, itu saja, tapi mereka punya anjing dan kucing yang menggantikan anak-anak. Ini mungkin membuat orang tertawa tetapi ini adalah kenyataan. Memelihara hewan peliharaan adalah “penolakan terhadap peran sebagai ayah dan ibu dan meremehkan kita, menghilangkan rasa kemanusiaan kita”, katanya. Konsekuensinya adalah “peradaban menjadi tua tanpa kemanusiaan karena kita kehilangan kekayaan peran sebagai ayah dan ibu, dan negaralah yang menderita”.


Meskipun pasangan yang tidak dapat memiliki anak karena alasan biologis dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi anak (dan bukannya malah memilih memelihara anjing atau kucing), ia juga mendesak calon orang tua “tidak perlu takut” untuk menjadi orang tua. “Memiliki anak selalu ada risikonya, tapi risikonya lebih besar jika tidak memiliki anak,” ujarnya.


Bagaimana menurut Anda? 😎


Jakarta, 20 Agustus 2024


https://www.facebook.com/750381084/posts/10161983203391085/?mibextid=rS40aB7S9Ucbxw6v

Satria Dharma