Orang awam adalah dalilnya kyainya
Dalilnya Orang Awam Itu Kyainya?
Posted by: wahyudi February 25, 2016 in slider, Uncategorized, Ushul Fikih
fdsahjhfd
Tadi malam saya mengaji ushul fikih dengan Syaih Saltut, salah seorang Professor Ilmu Ushul Fikih di Universitas al-Azhar. Pengajian masih melanjutkan materi sebelumnya, yaitu terkait dengan dalil. Dari semua uraian yang disampaikan, saya tertarik menggarisbawahi terkait dalilnya orang awam.
Dalil sendiri, seperti yang disebutkan dalam kitab Alluma’ karya Imam Syairazi maknanya adalah petunjuk menuju sesuatu yang diinginkan. Di ushul fikih, maksud dari dalil itu adalah petunjuk untuk mengetahui ketentuan hukum fikih. Para ulama memberikan urutan-urutan terkait petunjuk tadi, bermula dari Quran, lalu sunnah, lalu ijmak, lalu kiyas. Empat dalil tadi sudah menjadi “kesepakatan” para ulama ushul. Setelah ini, Imam Syairazi meletakkan istishab dan Kyai sebagai dalil bagi orang awam.
Terkait Kyai yang dijadikan dalil bagi orang awam, ternyata tidak hanya terdapat dalam kitab al-Luma’. Sebelumnya imam Haramain dalam kitab Waraqat juga menyebutkan hal yang sama. Bahkan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah pun, menyatakan bahwa dalilnya orang awam itu adalah Kyainya.
Mengapa demikian? Karena orang awam tidak tau apa itu dalil. Bagi mereka, yang terpenting dapat menjalankan perintah Allah dan rasul-nya. Jika mereka diberi dalil, mereka malah akan bingung. Apalagi dalil itu, bukan sekadar Quran dan sunnah saja. Dalil sangat banyak. Inti dari dalil adalah petunjuk kepada ketentuan hukum itu.
Dalil sendiri sifatnya mentah. Ia belum bisa dijadikan sebagai petunjuk terhadap suatu ketentuan hukum fikih. Ia masih membutuhkan sistem istidlal. Istidlal ini tidak hanya berlaku pada dalil nas yang bermula dari al-Quran dan sunnah, namun juga ijmak, kiyas dan berbagai dalil yang mukhtalaf fihi. Sistem istidlal ini, juga tidak dipahami oleh orang awam. Jika dalil saja belum tau, apalagi sistem istidlal. Jika kita sodorkan dalil dan sistem istidlal dari dalil tadi, orang awam akan tambah pusing. Bukannya akan semakin rajin mengaji, mereka bisa-bisa malah melarikan diri.
Pernah suatu kali, Syaih Ali Jumat ditanya tentang suatu persoalan. Lalu ada orang awam yang bertanya tentang dalilnya. Syaih Ali Jumah tidak menyebutkan dalil panjang lebar dari ayat Quran, sunah nabi atau deretan dalil dan sistem istidlal lainnya. Beliau hanya membuka kopiyah Azharnya lalu menunjuk kepada kopiyah tadi, dan berkata, “Inilah dalilnya”.
Para hadirin tertawa. Syaih diminta memberikan dalil, mengapa malah membuat lelucon dengan melepas kopiyah Azhar dan mengatakan sebagai dalil? Namun Ali Jumah tidak tertawa. Ia serius menunjukkan kopiyah Azhar itu. Lalu beliau menerangkan bahwa kopiyah Azhar ini, merupakan simbul dari para ulama azhar. Jika seorang ulama sudah berfatwa, maka ia telah dianggap sebagai dalil. Ulama adalah dalilnya bagi awam.
Saya termenung dengan pendapat tersebut. lalu saya teringat ketika saya ceramah di kampong. Jamaahnya kebanyakan orang awam. Ada yang tidak bisa ngaji, bacanya susah bahkan tidak bisa bahasa Indonesia. Menerangkan hukum harus pelan-pelan sekali dan yang praktis-praktis. Mereka sama sekali tidak butuh dalil. Mereka tidak paham apa itu sekali. Mereka hanya nurut hokum sesuai perkataan kyainya.
Para ulama sangat terdahulu, seperti Imam Haramain, Imam Ibnu Taimiyah, Ibnul Hazm, Imam Syairazi dan ulama ushul lainya sangat tepat ketika menempatkan Kyai sebagai dalil bagi orang awam. Ya, karena mereka ini memang tidak mempunyai kemampuan. Jika mereka dipaksa harus tau dalil, tentu memberatkan bagi mereka. Padahal agama Islam ini mudah dan tidak memberikan beban melebihi kemampuan hamba.
Terkait dalil ini, pendapat para ulama berikut bisa kita renungkan bersama:
1. Iz Ibnu Abdussala dalam kita Qawaaidul Ahkam berkata, “Tugasnya orang awam ya taqlid, karena ia tidak mampu untuk mengetahui hukum syariat dengan cara berijtihad”.
2. Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Muswaddah berkata, “Secara umum, berijtihad hukumnya boleh, sebagaimana bertaqlid juga hukumnya boleh. Bagi yang sanggup berijtihad, boleh dia berijtihad, sementara bagi yang tidak bisa berijtihad, boleh baginya untuk taqlid saja. ”.
3. Imam Syathibi dalam kitab al-I’tisham berkata, “Jika seseorang muqallid sama sekali tidak mempunyai ilmu, maka ia harus punya pegangan orang alim (Kyai) yang bisa dijadikan contoh teladan”. Imam Syathibi, dalam kitab Muwafawatnya juga berkata, “Fatawanya seorang mujtahid itu, dalilnya orang awam”.
Kesimpulannya, bahwa manusia mempunyai kemampuan yang beragam. Untuk orang awam, cukuplah fatwa Kyainya menjadi dalil. Awam pun ada tingkatannya. Jika ia tidak terlalu awam, bolehlah ia diberi dalil baik dari Quran, sunnah, ijmak, kiyas dan lain sebagainya. Jika ia mengetahui seluk beluk hokum, bolehlah kita berikan dalil dan juga system istidlal atas suatu perkara. Jadi, jangan paksa orang awam untuk mengetahui sebuah dalil karena hanya akan membuat bingung mereka. Jangan dicela orang awam yang taklid kepada Kyainya. Taklid mereka, karena sesuai dengan kemampuannya. Jangan paksa setiap orang untuk mampu berijtihad. Mereka yang belum mampu ijtihad lalu berijtihad, bisa merusak hukum syariat. Wallahu a’lam
Posting Komentar untuk "Orang awam adalah dalilnya kyainya"
Posting Komentar