PayLater, padahal kata aslinya utang
Bondan Satria Nusantara
Orang-orang marketing, komunikasi, sales, pasti tahulah trik-trik beginian:
- Biar ga terkesan murahan, “Harga murah” diganti dengan “harganya terjangkau”
- Biar ga ditolak karena kemahalan, kata “mahal” diganti “tinggi”. “Wah, produk baru yang ini memang tinggi harganya. Sesuai dengan kualitasnya.”
- Biar customer ga ngerasa buang duit, harga tiket seminar/ workshop, diganti dengan “Investasi”
- Sebagian selebgram, kini enggan disebut "influencer". Mereka ingin dipanggil: "Content Creator". Yaaa...biar terkesan ada kerjaan gitu haha.
- Dulu, orang ngerasa perawatan kulit itu kesia-siaan belaka. Namun, kini berubah. Setelah didengung-dengu
ngkan bahwa “merawat kulit adalah investasi jangka panjang…”
- BBM tu ga pernah naik lho tarifnya. BBM cuma mengalami “Penyesuaian harga…” Bukan naik! Tapi….”Penyesuaian…” Bedakan itu!
- Yang paling baru dan masih jarang disadari: “PayLater”. Asline kan utang/ cicilan. Tapi ga keren dong… Orang malu kalo punya utang / cicilan. Begitu diganti jadi “PayLater”, Gen-Y Gen-Z langsung berubah sikap. Ga malu lagi. Dan...tergiur untuk belanja lebih banyak. (cek gambar).
Ga cuma lebih konsumtif, sebagian mereka malah bangga kalo limitnya naek. Bahkan, sampe ada yang pamer,”Kencan yuk..” sambil upload screenshot limit paylaternya yang mencapai jutaan rupiah.
Seolah ingin pamer dia punya uang sebanyak itu. Padahal, sebenarnya, dia (potensi) punya utang sebanyak itu.
Dengan mengganti istilah, orang tidak malu lagi berhutang. Justru berlomba-lomba meninggikan limit hutang. Itulah the power of pilihan kata. Coba kalo yang pamer PayLater itu justru disebut-sebut dengan “Tukang ngutang”. Masihkah bangga?
Misalnya nih: Driver gojeknya tahu bayar go foodnya pake paylater, lalu dia komen,”Oh, mas makannya ngutang ya?”
Terus pas check-in hotel pake traveloka PayLater, resepsionisnya komentar,”Eh..bapak… sampe harus ngutang ya buat nginep?” (Maaf, resepsionisnya mantan admin lambe turah). Awkward ga sih?
Lanjut ya?
Kalo yang ini, cukup positif sih penggunaan triknya. Dulu, mantan penyandang covid itu sering dikucilkan diam-diam oleh lingkungannya. Padahal, dia udah negatif lho. Udah ga nularin. Justru, dia punya antibodi. Tapi, malah dijauhi. Kenapa?
Ya karena dia ‘bekas’ kena covid. Nah, entah dari mana, entah siapa yang ngusulin, tiba-tiba mereka ini punya sebutan baru: penyintas. Penyintas covid. Efeknya?
Bumi langit! Saya lagi diskusi dengan Mas Fahmi untuk launching buku Gue Ogah Ribet special edition. Tiba-tiba, Mas Rizal yang sudah negatif, dateng ke meeting room.
Mas Fahmi langsung menyambut,”Wah, ini nih… penyintas covid..” dengan nada bak menyambut pahlawan. Sebutan “penyintas” membuat “eks covid” disambut seperti orang yang telah melalui ujian hidup dan mati. Karena memang begitulah aura makna “penyintas”. Keren lah pokoknya!
Lalu, salah satu Deputi KPK mengusulkan,"Bagaimana kalau eks napi korupsi disebut sebagai 'penyintas korupsi'?"
Jujur, dari sudut pandang psycho-hacking, ini usul yang brilian. Kalau tujuan kita ingin membantu koruptor.
Coba amati: Bagaimana kalau kata penyintas disandingkan dengan kata korupsi? Bagaimana kalau bekas tahanan korupsi disebut penyintas korupsi? Bukankah diksi itu mendorong bawah sadar kita menyambut penjahat bak pahlawan?
Jangankan penyintas korupsi. Sebutan “koruptor” saja menurut saya masih terlalu halus. Terlalu memuliakan. Gelar “koruptor” (wait.. kata "gelar" terlalu sopan..) Cap koruptor itu masih memberi efek "segan" ke benak saya. Karena koruptor, apalagi kelas kakap, pastilah orang yang punya power. Pasti pinter.
Apalagi muka, eh, tampang koruptor yang muncul di TV itu biasanya glowing-glowing. Entah bapak-bapak, entah ibu-ibu, koruptor itu pasti mukanya terawat. Kalo cuma lihat foto/ video di TV, mungkin kita sebel. Tapi kalo ketemu langsung?
Saya yakin bawah sadar sebagian dari kita masih terpengaruh berkat tampilan koruptor itu; rambut klimis, wangi parfum mahal, dan biasanya pejabat penting.
Sebutan “koruptor” membuat mulut saya mencaci, tapi hati tak membenci.
Bandingkan dengan sebutan “maling”. Maling ayam. Maling HP. Maling motor. Maling, kesannya rendahan. Saya bisa langsung sebel dan merasa superior di hadapannya.
Di benak saya, maling yang tertangkap pastilah sudah dalam keadaan diamuk massa: terikat, lemas, bonyok muka sana-sini, dan menderihkan permohonan ampun..
Maka, saya usul. Gimana kalo mulai sekarang, koruptor kita sebut dengan maling? Ndak usah diperhalus. Ndak usah disebut “tikus berdasi”. Atau “maling berdasi”. Maling ya maling. Juliari bukan koruptor. Tapi maling. Pinangki bukan koruptor. Tapi maling.
Gimana? Anda terima usul saya? Atau mungkin ada yang mengusulkan istilah yang lebih hina?
Apa??? Saya tidak salah dengar? Anda mengusulkan untuk memakai sebutan “bajingan” saja? Apalagi yang korupsi eh, maling bansos? Layak disebut bajingan? Juga, yang ngasih beras berbatu itu ya? Sebut aja bajingan?
Wah, sip. Usul Anda saya terima...
Lalu, sayup-sayup terdengar..."Maaf, kami memang kor...eh maling. Tapi, kalo ketahuan, kami balikin kok kerugian negara... jadi kami nih sebenarnya cuma kayak pake PayLater..."
Haish....DAGADU!!!
Posting Komentar untuk "PayLater, padahal kata aslinya utang"
Posting Komentar